DI BALIK SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Fahmi Nuraziz Awaludin

Ilmu Hadis


Ketika awal kemerdekaan, Indonesia memiliki banyak tantangan dari berbagai sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi dasar negara yaitu Pancasila dengan berbagai konsep ideologi yang mereka miliki, seperti PKI yang memberontak pada tahun 1948 di Madiun yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan komunis, dan DI/TII yang memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya.

Kita hidup di Negara Indonesia yang terkenal dengan negeri kepulauan, di mana pulau-pulau itu berada dan tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Selain pulau-pulau, di negara kita juga terkenal dengan beragam suku, adat, ras, budaya, serta agamanya. Namun meski terdiri dari banyak suku, adat, ras, budaya, serta agamanya, pada hakikatnya bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika seperti yang tercantum pada dasar negara yaitu Pancasila.

Baik dari kalangan anak-anak maupun orang tua sekalipun, sejak dini kita telah diperkenalkan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bahkan diharuskan untuk memahami isi kandungan semboyan bangsa Indonesia tersebut yang tertulis pada kaki lambang negara Garuda Pancasila.

 Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Selain itu, masing-masing suku bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat agar taat dan melakukan segala yang tertera di dalamnya.

 Dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau tingkah laku juga memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda, mereka akan tetap memegang teguh Bhinneka Tunggal Ika karena itulah yang dicita-citakan bangsa Indonesia hidup dalam keberagaman yang indah dan penuh toleransi. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (QS Al-Hujurat 13).

Sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri atas adat dan budaya, Indonesia seringkali menghadapi konflik yang mengatasnamakan suku, agama, ras, antar golongan yang dapat mengakibatkan adanya perpecahan dan dapat menjadi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan kesatuan bangsa, dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak baik, tentu ini merusak persatuan dan kesatuan bangsa. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (QS Al-Anfal 8:46).

Dalam tafsir maudhu’i, “orang-orang beriman diperintahkan agar senantiasa menghiasi diri dengan mentaati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-nya dan larangan saling berselisih atau saling berdebat di antara mereka. Hal tersebut akan menyebabkan menjadi gentar dan bahkan hilang kekuatan sehingga tidak berdaya sama sekali di hadapan musuh.” (Bunyamin, 2021).

Pada dasarnya keberagaman masyarakat Indonesia menjadi modal besar dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, sangat diperlukan rasa persatuan dan kesatuan yang tertanam di setiap warga negara Indonesia. Membahas keberagaman maka tidak akan luput dari apa yang diistilahkan sebagai pluralisme. Hal ini, karena membicarakan sebuah keberagaman berarti juga membicarakan sebuah konsep pluralisme, yang mana pluralisme sendiri merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.

“Secara etimologis, pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak. Adapun secara terminologis istilah pluralisme (pluralism) memiliki dua definisi pertama, keberadaan kelompok, kelompok yang berbeda dari segi etnik, pola budaya, agama, dan lain, lain dalam suatu negara; kedua, kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap kelompok, kelompok dalam negara atau masyarakat.” (Bunyamin, 2017).

Kata pluralisme sendiri ketika dihubungkan dengan kata agama menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung realitas keragaman agama tersebut. Pernyataan ini tentu menuntut kita untuk mengakui adanya agama selain Islam mengingat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran 3:19).

Ayat di atas, Allah hanya meridhai Islam sebagai agama yang di anut. Ajaran tauhid dalam Islam mengajarkan penolakan dan kebencian terhadap segala bentuk penyembahan kepada selain Allah. Meskipun demikian, umat Islam tidak di perbolehkan menggunakan rasa “benci” untuk menyakiti, berbuat kerusakan dan melanggar prinsip Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin. Maka dari itu perbedaan dalam agama dan keyakinan cukup kita hargai bukan meyakini.

 Dalam buku yang berjudul Gus Dur ku Gus Dur anda Gus Dur kita, Gus Dur mengatakan bahwa Islam melindungi hak beragama secara bebas sebagai bagian dari “Al-Ushul Al-Khamsah” atau lima hak dasar. Dengan demikian, hukum fiqih mengenai kemurtadan itu pun tidak berlaku secara mutlak, tetapi terkait dengan perkembangan masyarakat khususnya masyarakat modern yang semakin kompleks dan majemuk.

 Dalam pernyataan tersebut Islam menjunjung tinggi rasa toleransi. Karena Islam agama yang Allah takdirkan menjadi agama penyempurna bagi agama-agama lain. Dalam hal perbedaan keyakinanpun, Islam tetap menghargai dan menghormati hal tersebut, apalagi berkaitan dengan perbedaan ras, suku, bahasa, budaya, dan yang lainnya. Itu sudah sepatutnya kita junjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan di negeri ini. Seperti kata Hadratusyeikh KH. M Hasyim Asy’ari “Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan.”

 Indonesia Allah ciptakan penuh dengan keberagaman, karena dengan keberagaman itulah Indonesia memiliki keunikan. Perbedaan dari segi keyakinan, adat istiadat, budaya, dan bahasa daerah, mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Itulah yang menjadi prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Rahmatan Lil’Alamin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.