Cerpen : "Dibalik Etalase dan Piala" Karya Sri Maulani Suhartiti


   Terinspirasi dari Hadis

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً   

Artinya: Dari Abu Musa, dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi, ada kalanya penjual minyak wangi itu akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu mendapatkan aroma wanginya. Sedangkan pandai besi ada kalanya (percikan apinya) akan membakar bajumu atau kamu akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya. (HR.Al-Bukhari: 5108, Muslim: 2628, Ahmad:19163)

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

     Sejak Taman Kanak-kanak, Risma dan Hana sudah seperti dua sisi mata uang—berbeda, tapi tak pernah terpisahkan. Mereka tumbuh bersama melewati tawa di TK, semangat belajar di SD, gejolak emosi di SMP, hingga kini melangkah bersama ke SMA. Namun, sebuah perubahan besar mulai terasa saat SMP.

    Hana, yang dulu sama-sama berada di jajaran 10 besar bersama Risma, perlahan mulai melejit. Ia menduduki posisi 3 besar nyaris di setiap semester. Sementara Risma tetap bertahan di tempat yang sama—tidak buruk, tapi juga tak istimewa. Meski begitu, Hana tak pernah membuat jarak. Ia tetap menjadi sahabat yang hangat dan rendah hati.

    Saat SMA, mereka kembali sekelas dan tergabung dalam satu organisasi. Di sinilah titik balik dimulai. Risma mulai berubah. Ia lebih rajin, lebih disiplin, dan tak lagi menghindari soal-soal sulit. Ia mulai meminta bantuan pada Hana. Tak disangka, nilainya naik drastis—bahkan sempat melampaui nilai Hana.

“Aku merasa tidak pantas, Han,” ucap Risma suatu hari.

 “Seharusnya kamu yang ada di posisi itu. Aku cuma ikut-ikutan.”

    Namun Hana tersenyum. 

“Risma,” katanya lembut, 

“Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah berkehendak. Kamu berusaha keras, kamu berdoa. Ini bukan soal siapa yang pantas, tapi siapa yang sungguh-sungguh.”

    Risma terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia teringat masa kecilnya, saat orang tuanya menjanjikan hadiah jika ia masuk tiga besar. Tapi ia tak pernah berhasil. Ia lebih memilih menabung sendiri untuk membeli barang impiannya. Ia juga ingat bagaimana ibunya sering membandingkannya dengan Hana. Namun Risma tak pernah marah—ia tak pernah membenci siapa pun. Ia hanya diam, menelan semua perasaan itu, dan tetap menjaga hubungan baik dengan Hana.

    Kini, untuk pertama kalinya, ia ingin berubah. Ia meminta Hana mengajarinya dengan sungguh-sungguh. Dan Hana pun membantu dengan senang hati. Mereka belajar bersama hampir setiap malam. Kadang sampai tertidur di meja belajar. Kadang tertawa karena lelah. Tapi Risma terus maju, dan hasilnya mulai terlihat.

    Akhir semester tiba. Risma masuk tiga besar. Tapi anehnya, ia tidak langsung menagih janji orang tuanya. Ia merasa pencapaiannya kali ini bukan karena iming-iming, tapi murni dari hati. Meski begitu, orang tuanya tetap menepati janji—mereka membelikannya tas impian yang dulu hanya bisa ia pandangi dari balik etalase. Risma menangis haru.

    Tahun-tahun SMA pun berjalan cepat. Di kelas 1, 2, dan 3, Risma dan Hana terus bertahan di jajaran tiga besar. Mereka saling mendorong, saling mendukung. Tak hanya soal pelajaran, tapi juga soal hidup. Saat ulang tahun, mereka selalu saling memberi hadiah. Saat salah satu kehabisan uang saku, yang lain berbagi tanpa ragu. Tidak ada yang lapar jika salah satu masih punya roti.

    Namun masa kelulusan datang membawa cerita lain.

    Mereka memiliki impian yang sama: kuliah dengan beasiswa di universitas favorit. Mereka mendaftar bersama. Hana diterima. Risma tidak.

    Tapi dunia berputar cepat. Orang tua Hana ternyata tidak merestui keputusannya untuk kuliah. Mereka ingin Hana langsung bekerja, membantu keuangan keluarga. Risma sempat mencoba membujuk mereka, tapi gagal. Hana hanya tersenyum meski hatinya runtuh.

“Tidak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik menurut Allah,” ucap Hana pelan. 

“Aku percaya ini jalan yang ditentukan-Nya. Jalani, nikmati, syukuri.”

    Risma akhirnya mendaftar ke universitas lain, dan diterima. Ia bahagia karena bisa kuliah, tapi hatinya sedih karena tak bisa melanjutkan perjuangan bersama sahabatnya.

    Di hari kelulusan, kejutan datang. Risma dinobatkan sebagai siswa terbaik di bidang non-akademis, sementara Hana menjadi siswa terbaik akademis. Mereka berdiri berdampingan di panggung, tersenyum sambil menggenggam erat piala mereka. Tangan mereka saling menggenggam, seperti bertahun-tahun sebelumnya—erat dan penuh haru.

    Setelah lulus, jalan mereka berpisah. Risma kuliah, Hana bekerja di pabrik kecil di kotanya. Tapi jarak tak pernah memisahkan hati. Mereka masih saling mengirim pesan, berbagi cerita, saling mendoakan.

    Sahabat seperjuangan bukanlah mereka yang terus berada dalam satu jalan, tapi mereka yang tetap berjalan beriring meski arah sudah berbeda. Risma dan Hana tahu, apa yang mereka punya bukan sekadar persahabatan. Tapi ikatan jiwa yang tak lekang oleh waktu.


Tidak ada komentar

komentar akan di publish setelah peninjauan

Diberdayakan oleh Blogger.